KOORDINASI, STAKEHOLDER DAN SOSIAL MARKETING




Kata-kata koordinasi itu sering kali terdengar dalam penyelenggaraan atau aktivitas di institusi pemerintah dan lingkungan sekitarnya. Kalau di kerja swasta sepertinya lebih lugas penyebutannya. Bila kita akan membahas sesuatu, maka disebutnya meeting atau rapat. 

Sedangkan di kerja pendampingan semacam ini, yang mana istilahnya banyak meminjam dengan pemerintahan, kata-kata koordinasi sering dipakai. Baik untuk menyebut aktivitas komunikasi informal yang sekedar bertemu maupun yang formal dengan sebutan rapat koordinasi. Koordinasi yang maksimal terjadi ketika kita bisa secara informal, formal, vertical dan horizontal. Itulah makanya kata koordinasi ini dikatakan “mudah diucapkan, namun tidak mudah dilakukannya”

Perlu metoda dan media untuk bisa melakukan koordinasi dengan baik. Bila tidak, maka kejadiannya seperti yang pernah aku alami dulu di awal-awal gabung dengan kerja pendampingan seperti ini di tahun 2005. Waktu itu aku dinilai lemah dalam koordinasi. Hah!! Bagaimana mungkin aku dikatakan lemah dalam koordinasi? Lha wong sebelum kerja di pendampingan ini aku sudah kerja di swasta hampir sepuluh tahun segala, ini keterlaluan yang menlaiku seperti ini..tapi kenyataannya demikian adanya. Dan mulai saat itulah aku introspeksi diri, bahwa pemahaman visi misi kerjaan dan tujuan serta konteks setiap kegiatan sangatlah penting. Dan dalam koordinasi, pemahaman tentang stakeholders menjadi sangat penting.

Seperti yang aku sebut di atas tadi bahwa suatu ketika di tahun 2005 dulu aku mendapat penugasan pendampingan dengan cakupan cluster antar kabupaten, 3 kabupaten. Sementara pemahamanku tentang stakeholders masih dangkal. Ini masih diperparah tentang penguasaan metoda dan media untuk koordinasi masih minimal. Akhirnya koordinasi yang sempat dilakukan baru pada koordinasi informal saja. Sementara koordinasi dalam rapat-rapat koordinasi yang merupakan forum strategis untuk menjelaskan banyak hal besar belum bisa aku lakukan. Maka pas kalau aku dibilang lemah dalam koordinasi. Matilah aku..ok fine, mungkin ini perjalanan kematangan hidup yang harus melewati benturan-benturan untuk yang ke sekian kalinya..

Sehingga simpulanku bahwa koordinasi itu memang perlu energy yang besar dalam kerja petugas pendamping ini. Karena perlu hal-hal berikut ini yang meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap;
1.    Pemahaman tentang stakeholders
2.    Penguasaan metoda dan media
3.    Sikap rendah hati, mau memahami dan sabar

Pemahaman stakeholder
Stakeholders yang bahasa Indonesian nya para pemangku kepentingan, ini harus dipahami dan dianalisa terlebih dahulu sebelum kita melakukan koordinasi. Secara definitive, stakeholders diartikan sebagai berikut;

   Stakeholder sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. (Freeman 1984)
  Stakeholder merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan. (Biset 1998)

Adapun macam dari stakeholders ini adalah;
  1. Stakeholders primer (utama), stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan organisasi. Stakeholder ini  harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan. Contoh;
-  Warga masyarakat yang akan memperoleh manfaat atau terkena dampak (kehilangan tanah dan kemungkinan kehilangan mata pencaharian) dari kebijakan/program/organisasi ini. 
-        Tokoh masyarakat : Anggota masyarakat yang ditokohkan di wilayah itu sekaligus dianggap dapat mewakili aspirasi masyarakat,
-   Ormas Publik : lembaga/badan publik yang bertanggung jawab dalam pengambilan dan implementasi suatu keputusan.

  1. Stakeholders sekunder, (pendukung), stakeholder yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program,  tetapi memiliki kepedulian (consern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah. Contoh;
-        Lembaga (Aparat) pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggung jawab langsung.
-        Lembaga pemerintah yang terkait dengan issu tetapi tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan.
-        Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) setempat : LSM yang bergerak di bidang yang bersesuai dengan rencana, manfaat, dampak yang muncul yang memiliki “concern” (termasuk organisasi massa yang terkait).
-   Perguruan Tinggi: Kelompok akademisi ini memiliki pengaruh penting dalam pengambilan keputusan pemerintah.
-        Pengusaha (Badan usaha) yang terkait.

  1. Stakeholders kunci
Stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai levelnya, legisltif, dan instansi.
Contoh di level Kabupaten;
      Pemerintah Kabupaten (Bupati)
      DPR
      Bappeda, BPMDK

Pengalaman lapangan menggembirakan dan menyedihkan dalam koordinasi, social marketing

Good news
Tanggal 29 September 2015 telah diberangkatkan peserta studi banding yang berasal dari anggota masyarakat Rumah Tangga Miskin (RTM) yang ada di desa Kluwut Kecamatan Bulakamba Brebes ke Kabupaten Kendal. Peserta yang diberangkatkan dari Desa Kluwut ada 5 orang yang menjadi bagian dari seluruh peserta yang terdiri dari beberapa desa. Materi yang akan dipelajari dalam studi banding ini seputar pengolahan hasil laut khususnya ikan laut. Kegiatan ini direncanakan berlangsung selama 5 hari dari tanggal 29 September s/d 2 Oktober 2015. Dan setelah para peserta kembali, mereka bertutur bahwa tempat yang mereka kunjungi adalah tempat pengolahan Bandeng Cabut Duri, pengolahan Bandeng Presto dan Pengasapan Ikan di Kecamatan Bandengan Kabupaten Kendal. Dari hasil yang mereka dalami tentang pengolahan ikan ini, mereka optimis bisa menerapkan di rumah mereka masing-masing karena di tempat tinggal mereka tidak sulit mencari bahan baku ikan tersebut. Hanya pertanyaan yang masih belum bisa dijawab adalah sejauh mana kemampuan jualnya apabila mereka nanti membuat olahan ini..
studi banding olahan ikan dari kluwut ke kendal

Bad news
Tanggal 13 September 2015 yang merupakan H minus 1 mendadak sontak aku dikabari dari Dinperindag Brebes bahwa agenda bimbingan teknis ke Desa Wanatirta yang sudah direncanakan secara berjenjang sampai ke desa, harus batal. Pembatalan ini karena pada hari yang sama petugas yang seharusnya hadir di bimbingan tersebut harus mengemban tugas lain dari pimpinan. Hanya itu penjelasannya. Sementara komunikasi timbal balik yang sudah kami lakukan dari kabupaten, ke kecamatan, ke stakeholder desa di mana untuk  membangunnya perlu waktu dan pengkondisian yang berliku-liku seolah tidak menjadi pertimbangan sama sekali.. Dan selang sebulan kemudian, ada pemberitahuan dari Dinperidag bahwa akan diantarkan surat pemberitahuan bahwa selang dua hari ke depan akan dilakukan bintek yang sempat tertunda itu. Dan apa yang terjadi? Ternyata dinamika lapangan program sudah tidak memungkinkan untuk memfasilitasi masyarakat untuk menerima bintek tersebut karena di hari yang sama kami harus menggelar kegiatan yang lain. So..rusak semua bangunan support system untuk RTM yang sedang kami bangun..

Pendalaman konsep, refleksi komunikasi dan fasilitasi

Kegiatan yang melibatkan SKPD maupun dinas pemerintah semacam ini akan terlaksana bilamana sebelumnya dilakukan pembicaraan baik secara resmi di rapat-rapat koordinasi maupun pembicaraan informal yang telah dilakukan di berbagai forum, rapat koordinasi, pembahasan terarah, dan forum-forum lainnya, yang mana tujuannya adalah “marketing” tentang issue kurangnya fasilitasi untuk pengusaha gurem di Desa Kluwut dan Desa Wanatirta yang merupakan wilayah kantong kemiskinan (desa merah) Kabupaten Brebes.

Kegiatan semacam ini didasari dari implementasi atas konsep social marketing dan konsep livelihood support. Di mana social marketing berbicara tentang “menjual” ide, gagasan, informasi yang berfokus mengangkat issue social dari kondisi tidak/kurang baik menuju kondisi baik/bermanfaat untuk komunitas yang tinggal di wilayah tersebut. Pasar dari social marketing adalah para stakeholder kunci yaitu para stakeholder dari unsur pemerintah baik eksekutif maupun legeslatif yang berpotensi untuk membuat kebijakan dan intervensi positif secara legal. Berikutnya adalah para stakeholder sekunder (pendukung) yang berpotensi untuk diajak kerja sama dan kemitraan seperti para pengusaha perduli, asosiasi usaha, lembaga/asosiasi PKK dan sejenisnya. Livelihood support atau dukungan untuk penghidupan berkelanjutan bagi RTM akan tercipta manakala social marketing dilakukan karena melalui social marketing inilah para stakeholder mendapat informasi, ide, issue-issue tentang kebutuhan si RTM.

Bagi awam sebenarnya istilah social marketing ini secara substansinya bisa diartikan sebagai kegiatan membina hubungan. Dan dalam lingkup pengorganisasian masyarakat kegiatan social marketing ini secara konteks termasuk dalam kegiatan membangun kontak dengan stakeholder.

Bila kita membicarakan marketing maka yang terbayangkan seketika adalah penjualan barang dagangan. Namun sebenarnya pengertian marketing sendiri tidak serta merta penjualan atau pemasaran. Marketing diterjemahkan lebih dekat ke kegiatan penelitian atau survey yang di dalamnya meliputi kegiatan Segmentasi, Targeting dan Positioning (STP). Jadi sebenarnya marketing itu kegiatan-kegiatan sebelum terjadinya penjualan. Dan setelah kita bicara tentang marketing kemudian penjualan maka yang terbayang selanjutnya adalah distribusi dan menjual stock barang di gudang. Barang di gudang habis dan diisi kembali dari pabrik dan seterusnya. Pembahasan tentang social marketing akan berhenti pada kegiatan STP dimana stakeholder yang ada kita segmenkan mana yang relevan dengan ide, gagasan atau informasi yang akan kita “jual”. Selanjutnya kita bidik atau kita berfokus pada stakeholder yang menjadi target untuk kita dekati, alu kita membina relasi hingga mereka tahu ide dan informasi kita (semacam positioning). Setelah itu berhenti. Tidak ada lanjutan dengan pembahasan stock barang yang harus kita habiskan untuk dijual.

Oleh karena itu sebenarnya dalam social marketing suasananya tidak seperti memarketingi sebuah produk di mana selalu dihantui beban harus bisa menjual untuk melangsungkan kehidupan bisnis. Dalam marketing produk, kita selalu dibayang-bayangi competitor dan suka tidak suka harus mengamati pergerakan competitor untuk kemudian selalu mengevaluasi pricing yang kita tetapkan. Dalam social marketing tidak ada pikiran kalau kita bersaing dengan competitor sementara tantangan besar yang harus ditaklukkan adalah sejauh mana hati dan komitmen kita untuk membantu komunitas yang akan kita fasilitasi menuju kondisi lebih baik.

Dalam kasus dengan Dinperindag di atas, mengkomunikasikan 4 w dan 1 h secara timbal balik yaitu dari ide awal, brainstorming, penyepakatan awal, mengkomunikasikan perubahan dan akhirnya penetapan final, membutuhkan energi dan penataan emosi yang bijak. Karena Dinperindag yang punya anggaran dan rencana di satu sisi posisinya jauh dari RTM di desa. Untuk bisa berkomunikasi diperlukan pihak Kader Desa, Fasilitator Kecamatan, Fasilitator Kabupaten. Yang sering tidak disadari oleh Dinas maupun SKPD, dan sebaliknya dari masyarakat ke Dinas, bahwa berkomunikasi dengan RTM sasaran itu perlu ruang dan waktu yang cukup agar komunikasi efektif.

Dalam kasus Dinperindag di atas lagi, kegiatan social marketing khususnya “menjual” informasi dan gagasan tentang RTM ini butuh “product knowledge” atau pemahaman riil situasi lapangan RTM sehingga tidak hanya bicara angka statistic karena yang akan disentuh adalah “rasa kepedulian” untuk memperbaiki keadaan. Selanjutnya titik kritis dalam  livelihood support ini terletak pada  membangun hubungan interpersonal dengan tokoh di stakeholder kunci dan stakeholder pendukung. Dukungan secara institusional hanya akan terjadi bila persoalan hubungan personal sudah kondusif.

Peluang dan tantangan
Dalam kasus RTM Desa Kluwut dan Desa Wanatirta di atas merupakan entry point untuk masuk ke dinamikan support yang lebih sistematis dan budgetable. Di mana bila terkomunikasikan dengan baik maka akan didukung anggaran SKPD. Pola yang harus dibangun adalah dengan membentuk organisasi RTM pemanfaat, organisasi ini dapat berujud asosiasi atau perkumpulan sebagai wadah untuk komunikasi baik ke luar maupun ke dalam anggota. Selanjutnya perlunya pihak yang berfungsi sebagai mediator dan fasilitator kepada SKPD terkait. Bila sudah ada pihak-pihak tersebut maka membangun dinamika secara terencana dan terarah akan terlaksana sehingga “livelihood support system” bisa terealisasi.

Catatan pinggir

Tentang koordinasi. Koordinasi sepertinya mudah diucapkan. Namun dalam konteks program dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat ini, pembicaraan koordinasi semestinya akan banyak diisi muatan “social marketing”. Sehingga buah dari koordinasi adalah aksi mendukung dari kegiatan utama atau menu utama program. Banyak tenaga pendamping tidak banyak berbuat sesuatu di dimensi koordinasi ini. Karena memang energi yang dikeluarkan menjadi berlipat ganda dengan segala pernik-pernik persoalan personal maupun institusionalnya yang seringnya tidak klop dengan project cycle atau siklus program. 

Dalam implementasinya, perlu pendalaman dan komitmen diri terhadap materi social marketing yang mengadvokasi masyarakat miskin tanpa publikasi dan keberpihakan diri tanpa tendensi.   Out put dari koordinasi ini seharusnya support system yang mendukung sustainability livelihood. Yang ini juga berarti dorongan terjadinya interaksi dengan pemeritah lokal agar masyarakat dampingan mampu mengakses sumber daya yang disediakan pemerintah lokal. Seloroh kawan yang minimalis, “koyo wong legan golek momongan”,”cari –cari kerjaan aja  bung”.


   

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

0 Response to "KOORDINASI, STAKEHOLDER DAN SOSIAL MARKETING"

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar atau pesan!

- Dilarang meninggalkan link pada kolom komentar (kecuali diperlukan).
- Dimohon untuk tidak melakukan spam
- Berkomentarlah secara etis
- Mohon maaf apabila kami tidak sempat membalas komentar Anda
- Terimakasih atas komentar Anda yang relevan