Balada tenaga pendamping

Balada tenaga pendampingAku jalani pekerjaan sebagai petugas pendamping teknis (technical assistance) ini sudah se dasa warsa. Hari ini bulan Oktober 2015, waktu itu aku terjun di kerja pendampingan ini bulan Agustus 2005. Cerita lapangan ini berjalan seiring dengan perjalanan orientasi diriku di kerja seperti ini. Awalnya aku tidak punya orientasi lain selain  hanya bekerja mencari nafkah. Namun seiring berjalannya waktu, saat ini orientasi sepertinya menjadi lebih sederhana. Pengin  berbagi dan berkonstribusi di pembangunan masyara


Balada pendamping


kat marginal, beramal dari ilmu yang sedikit ini. Yang begini ini sering menggelitik pikiran dan perasaan. Tanpa terasa..banyak waktu yang telah kuhabiskan dalam suka duka pekerjaan ini. Begitu juga kawan-kawan di sana, di semua level dari pusat sampai kecamatan, sampai  desa, yang bertugas di wilayah pegunungan, perbukitan, pantai, daerah kumuh dan wilayah tertinggal lainnya. Satu situasi dan kondisi yang pasti kami hadapi di pekerjaan semacam ini adalah daerah tertinggal, terbelakang, terisolasi, kumuh dan predikat negative lainnya. Bagi yang merasa nyaman dengan dinamika pemberdayaan masyarakat pastinya akan menikmati ketidak pastian ini dengan suasana hati yang positif dan selalu postinker (positive thinker), berdamai dengan keadaan dan mengiyakan bahwa sesuatu yang pasti di kehidupan ini adalah ketidak pastian itu sendiri. Dan menghabiskan tenaga dan pikirannya untuk mencerna materi penguatan, memikirkan setiap saat mana-mana metoda dan media yang cocok untuk mendelivery kepada siapa saja, untuk internal, ekternal agar terjadi peningkatan kapasitas. Sedang yang kurang bisa menikmati dan menghayati kerja seperti ini biasanya akan menjalani hari-hari pendampingannya dengan berat hati dan keterpaksaan dalam wujud pribadi negthinker (negative thingker) gundah gulana dan complain forever.  


Aku memaklumi bahwa yang menjadi bawaan dari lokasi sasaran program penaggulangan kemiskinan dengan pendekatan pemberdayaan adalah segala hal yang kurang atau ketidak berdayaan atau ketidak teraturan dan hal-hal kurang lainnya. Oleh karena itu stock kesabaran, posthinker dan besar hati selalu aku kantongi. Bila tidak, wuih..betapa beratnya beban hidupku ini. Sudah jauh dari keluarga, menderita lahir batin pula. Apakah ini profesi atau sekedar semacam sukarelawan rokhani? Kerabat, saudara, bahkan anak-anakku sering bertanya. Kenapa bapaknya sering berpindah-pindah kerjanya? Kerjanya seperti apa bapaknya ini? hmm ..saat ini aku sudah tidak peduli lagi dengan status itu. Karena memang visi dan misi pribadi di pekerjaan ini sudah tidak menyertakan status lagi. Keinginan berstatus sudah pudar. Sejauh ada ruang dan waktu untuk berkonstribusi untuk pembangunan dan bekerja, berpenghasilan sambil beramal, cukuplah bagiku. Biarlah anak-anakku mengerti pada saatnya nanti setelah membaca tulisan ini ataupun browsing di internet atau diceritakan oleh kawan-kawan seperjuangan. Karena memang di Indonesia bahkan di luar negeripun mungkin juga tidak menganggap pekerjaan pendampingan masyarakat sebagai profesi. Di mana profesi-profesi di negeri ini yang dikenal adalah profesi-profesi tertentu yang pada saat membayar pajak ada identitas KLU nya seperti dokter, akuntan, notaries, karyawan, dan lain-lainnya. Dan profesi sepertiku ini sekedar digolongkan ke pekerja social kemasyarakatan rupanya.  Aku mensupport kawan-kawan yang memperjuangakan adanya pengakuan atas profesi ini. tapi saat ini aku jalani kerja ini dengan pikiran dan perasaan ingin berkonstribusi pada sesama yang terpinggirkan.  

Pada setiap awal siklus program kami selalu berlatih secara berjenjang tentang materi program; mekanisme manajerial keproyekan, pengorganisasian masyarakat, capacity building, dan koordinasi dengan segala metoda dan media serta strateginya untuk mendelivery kepada sasaran.  Ada saatnya aku menjadi peserta pelatihan dan kali yang lain aku di posisi memfasilitasi pelatihan. Banyak materi yang kami terima. Kadang situasinya bagaikan menu makanan yang dilahap secara bergantian dan semuanya harus ditelan. Tak peduli apakah sudah dikunyah apa belum, tak peduli mengunyahnya nanti-nanti seperti kerbau yang memamah biak, pokoknya masuk perut dulu. Dalam dinamika mendampingi program pemerintah yang pendekatannya pemberdayaan,  pelaksanaan akan selau diwarnai dengan dimensi manajerial, dimensi pengorganisasian masyarakat, dimensi koordinasi dan dimensi capacity building. Kesemuanya harus dijalankan oleh tenaga pendamping sepertiku ini. Penghargaan setinggi-tingginya untuk kawan-kawan seperjuangan. Pada kondisi top performance dia akan seperti utusan Tuhan bagi si papa di negeri entah berantah. Yang harus akrab dengan suasana kotor, reot, semrawut,  aroma kumuh, serak sampah masyarakat miskin pantai, atau alam terlantar yang dingin pegunungan, terisolir di daerah sulit ataupun alam cadas gersang perdesaan. Di saat orang lain akan muak dan muntah-muntah untuk singgah di situ, si tenaga pendamping ini akan tertawa lepas bercengkerama dengan orang yang sering disebut “nobody” dan hidup di tempat entah berantah tadi. Untuk kemudian memberi energy (daya) dan meledakkan tekadnya untuk menjadi “somebody”. Betapa pendamping ini adalah orang yang tangguh,  dinamika pekerjaan terkadang harus mengakrabi keadaan di mana gerak langkah manajerial keproyekan tidak seirama dengan gerak langkah implementasi pengorganisasian masyarakat sebagai menu utamanya dan masih tidak seirama lagi dengan gerak langkah  capacity building yang seharusnya dilakukan, pun masih belum seirama lagi dengan pemahaman stakeholder karena sulitnya koordinasi. Sehingga pada situasi seperti ini konflik batin seorang tenaga pendamping itu sebenarnya sangat tinggi. Tak heran bila banyak tenaga pendamping yang menderita macam-macam penyakit!, ada yang migraine anytime, nyeri punggung menahun, gangguan pencernakan, problem kesuburan reproduksi dan lain-lainnya. Karena memang dalam tubuh seorang tenaga pendamping ini harus melekat kapasitas seorang manager proyek, kapasitas seorang motivator dan organisator masyarakat dan komunikator dan mediator untuk instansi pemerintah dan lembaga pelatihan. Ketidak selarasan dimensi ini bisa membawa ke stress yang akibatnya macam-macam tadi. Contoh nyata seperti yang aku lihat dan alami sendiri. Apakah ini hanya kebetulan saja atau memang akibat dari konflik batin, yang jelas sewaktu aku tugas di Kabupaten tertentu, di sana ada lima orang tenaga pendamping di level kecamatan yang mengalami problem kesuburan reproduksi. Hemh..tidak ada kerja yang tanpa resiko.

 Bila boleh berandai-andai, seandainya model pembangunan negeri ini semuanya dilakukan dengan model pelibatan komunitas seperti ini, aku pastikan hasilnya lebih baik. Sebab masyarakat sasaran terlibat dalam pengambilan keputusan pembangunan. Apakah itu CD atau CO sama saja semuanya melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan penting. Sehingga mimpi kesejahteraan dan kemakmuran itu adalah mimpi riil masyarakat. Bukan persepsi tekhnokrat yang praktek pembangunannya dengan model charity.  Sebab model charity akan selalu menempatkan bahwa masyarakat miskin layak disantuni, disumbang. Berbeda dengan CD atau CO yang menempatkan semua manusia di muka bumi ini sebagai makhluk yang punya potensi. Untuk itu mereka layak untuk dimotivasi. Penghormatan terhadap kemanusiaan dalam pendekatan CD atau CO adalah nyata. Yaitu pendekatan pendidikan orang dewasa yang memandang bahwa kemiskinan, persoalan hidup itu bukan hal yang menjadi fokus perhatian. Akan tetapi potensi diri, aset-aset diri dan lingkungan adalah fokus yang harus dikembangkan. Sehingga selalu ada optimisme dan mimpi kesejahteraan. Dan  aura pembangunan akan positif. Namun kenyataan sampai saat ini masih belum seperti andai-andaiku itu..keputusan pembangunan untuk masyarakat miskin dengan model charity ini justeru masih dominan. Menjadi retorika pejabat publik yang dangkal konsep, rendah komitmen. Inilah yang nyata-nyata bisa disebut Money Driven Development (MDD). Semua disantuni dengan uang dan tidak ada pendampingan dan sentuhan motivasi dan dorongan untuk keluar dari keadaan marginal ini. mereka pikir semua bisa diselesaikan dengan uang, dengan diberi bantuan saja. Lebih-lebih bila menjelang pilkada, janji charity kadang sudah gak masuk nalar lagi diobral. Naif sekali. Dalam CD maupun CO, bukan di uangnya titik pandangnya tapi mengorganisir masyarakat untuk terlibat dalam keputusan hidupnya di masa depan. BLM sebatas stimulasi saja sementara target utamanya adalah perubahan pola fikir dan kesadaran untuk maju. Sedangkan charity tidak pernah bicara perubahan pola fikir dan kesadaran untuk maju.

Betapa seorang tenaga pendamping harus memanage pekerjaannya dengan variable-variabel keproyekan seperti;  variable penyerapan dana program, variable waktu eksekusi kegiatan yang dibatasi akhir tahun anggaran,  variable administrative pelaporan rutin bulanan dan insidentil,  pengelolaan informasi secara berjenjang ke hirarki atasnya dan bawahnya, pembinaan internal tim pendamping, dan lain sebagainya yang nyata-nyata tidak bermanfaat langsung kepada masyarakat dampingan. Namun justeru kenyataannya inilah yang sering menjadi penguras tenaga seoarang petugas pendamping. Dan ini kusebut “jebakan proyek”. Dan bila hanya ini yang dominan dalam aktifitasnya maka warna dan dinamika pendampingan masyarakat sudah masuk dalam jebakan proyek dengan kepedulian administatif saja.

Tentang koordinasi. Koordinasi sepertinya mudah diucapkan. Namun dalam konteks program dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat ini, pembicaraan koordinasi semestinya akan banyak diisi muatan “social marketing”. Sehingga buah dari koordinasi adalah aksi mendukung dari kegiatan utama atau menu utama program. Banyak tenaga pendamping tidak banyak berbuat sesuatu di dimensi koordinasi ini. Karena memang energi yang dikeluarkan menjadi berlipat ganda dengan segala pernik-pernik persoalan personal maupun institusionalnya yang seringnya tidak klop dengan project cycle atau siklus program. Dalam implementasinya, perlu pendalaman dan komitmen diri terhadap materi social marketing yang mengadvokasi masyarakat miskin tanpa publikasi dan keberpihakan diri tanpa tendensi.   Out put dari koordinasi ini seharusnya support system yang mendukung sustainability livelihood. Yang ini juga berarti dorongan terjadinya interaksi dengan pemeritah lokal agar masyarakat dampingan mampu mengakses sumber daya yang disediakan pemerintah lokal. Seloroh kawan yang minimalis, “koyo wong legan golek momongan”,”cari –cari kerjaan aja  bung”.

 Masih ada satu dimensi yang mana ini bagiku ini merupakan ladang amal untuk ilmuku dan ladang ilmu untuk amal dan kehidupanku sendiri. Yaitu dimensi capacity building. Secara naluriah seorang pendamping akan selalu dalam kondisi need assessment. Di tahap manapun dia berada akan selalu membawa misi capacity building. Sehingga di sinilah bagiku hal yang membanggakan karena kita harus selalu dalam keadaan posthinker dan berprasangka baik terhadap manusia, miskin dan terbelakang sekalipun, terhadap alam semesta dan Tuhan.  Dan keyakinanku berkata bahwa yang harus meningkat keadaannya pertama kali bukan masyarakat,  bukan pemanfaat program tapi sejatinya adalah diriku sendiri. Seorang tenaga pendamping seharusnya melakukan hal-hal yang dia sampaikan dan katakan. Dia harus menjadi pelaku dan tauladan tentang praktek-praktek motivasi dan wirausaha. Sehingga apa yang disampaikannya akan berjiwa dan berpijak di bumi. Dan dialog yang akan dibawakan akan substansial dan riil. Bukan sekedar ilmu pengetahuan dan persepsi dirinya tentang motivasi dan keberhasilan. Dia harus menjalaninya semua itu. Harus mampu merasakan persoalan-persoalan riil seperti sulitnya memasarkan produk, masalah sewa tempat usaha, masalah persaingan usaha dan lain sebagainya.  

Dari awal tadi, aku lebih suka menyebut diriku “petugas pendamping atau tenaga pendamping”. Bukan pendamping, bukan fasilitator. Karena memang setelah aku renung-renungkan dari beberapa dimensi di atas, ternyata terlalu tinggi untuk menyebut diri ini sebagai pendamping masyarakat. Cukuplah sebagai petugas pendamping yang mana porsi administrative keproyekan pekerjaan ini banyak menyita fungsi pendampingan masyarakat. Dan kenapa juga bukan fasilitator? Entahlah…mungkin karena aku sangat mengagumi semboyan Ki Hajar Dewantoro “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Dalam imajinasiku profil seseorang yang berperilaku seperti itu adalah profil seorang pendamping, bukan petugas pendamping, bukan fasilitator. Dan ketika aku juga belum bisa meninggalkan hal-hal administrative keproyekan yang kadang terlalu sulit dijelaskan untuk masyarakat. Maka sebutan yang pas untukku sepertinya petugas pendamping. No problem, aku lebih nyaman saat aku jujur dengan diriku sendiri.

Aku pribadi menyadari sepenuhnya bahwa dalam dunia kerja di manapun, untuk sebuah kinerja yang good performance, good habbit dan good attitude harus mengiringinya pula. Seperti halnya di sini, dan sebenarnya tidak ada bedanya dengan kerja di manapun. Hanya di sini haruslah bisa memahami siklus dari kerjaan yang unik ini. Kapan harus menonjolkan dimensi-dimensi bawaan itu. Itulah kenapa aku sebut seorang petugas pendamping adalah manusia pembangunan yang handal.  Ahh..haruskah kita berharap lagi tentang penghargaan untuk diri ini?. Karena bagiku hidup dalam dunia pendampingan seperti ini telah membawaku ke dalam alam spiritual yang sehat. Nyali menghadapi tantangan kehidupan selalu siaga karena selalu berada pada kondisi perjuangan. Aku bersyukur, bersyukur dan bersyukur lagi.

Sign up here with your email address to receive updates from this blog in your inbox.

0 Response to "Balada tenaga pendamping"

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar atau pesan!

- Dilarang meninggalkan link pada kolom komentar (kecuali diperlukan).
- Dimohon untuk tidak melakukan spam
- Berkomentarlah secara etis
- Mohon maaf apabila kami tidak sempat membalas komentar Anda
- Terimakasih atas komentar Anda yang relevan